The Real Miranda Priestly: Pemimpin Redaksi Mode yang Membentuk Industri

Film The Devil Wears Prada 2 merilis teaser resmi, menghadirkan kembali Miranda Priestly yang kerap dibandingkan dengan Anna Wintour. Munculnya karakter ini memicu diskusi tentang figur nyata yang memimpin media fashion global. Tiga nama yang menonjol adalah Lindsay Peoples (The Cut), Chioma Nnadi (British Vogue), dan Penny Martin (The Gentlewoman). Mereka berperan besar dalam membawa perspektif baru dan menjaga relevansi media yang mereka pimpin di tengah perubahan industri.
Lindsay Peoples Mengubah Wajah Jurnalisme Fashion
Lindsay Peoples menulis artikel berjudul Everywhere and Nowhere: What It’s Really Like to Be Black and Work in Fashion pada 2018 di New York Magazine. Ia mengupas isu rasisme dalam industri mode AS dengan menampilkan kesaksian seratus pekerja industri dan figur publik berkulit hitam. Artikel ini mendorong Lindsay mendirikan Black in Fashion Council bersama Sandrine Charles untuk memperluas visibilitas dan peluang bagi desainer kulit hitam.
Lindsay menjadi pemimpin redaksi Teen Vogue pada 2018, mentransformasi media remaja menjadi platform yang membahas isu politik, sosial, dan kehidupan perempuan secara komprehensif. Pada 2021, ia memimpin The Cut, menegaskan, “Kami menulis tidak hanya tentang mode, tapi juga politik, hubungan, dan masalah keuangan. Kami membahas perempuan dan semua hal yang mereka jalani.”
Ia juga menekankan masa depan majalah cetak, “Saya ingin versi cetak The Cut tampil mewah dengan ukuran besar, kertas berkualitas, dan logo berkilat. Saat ini, fokus adalah ‘mata uang’—membuat orang duduk, membaca, dan terhubung.” Inspirasi gaya Lindsay termasuk tas Prada pertama yang ia beli, koleksi JW Anderson, serta gaun karya Rachel Scott dan Laquan Smith.
Chioma Nnadi Membawa Perspektif Baru di British Vogue
Chioma Nnadi mengawali karirnya sebagai jurnalis di The Evening Standard dan media musik The Fader. Ia kemudian bekerja selama 14 tahun di US Vogue di bawah Anna Wintour. Pada pertengahan 2023, Chioma ditunjuk sebagai pemimpin redaksi British Vogue, menandai era baru editorial.
Untuk sampul perdananya, Chioma memilih FKA Twigs karena mencerminkan keeksentrikan Inggris modern. Ia menekankan keseimbangan antara mimpi dan realitas dalam industri fashion, “Mode yang hanya berperan sebagai mimpi kini tidak lagi realistis.” Mengenai jurnalisme fashion di era media sosial, Chioma percaya bahwa beragam suara yang muncul justru menyehatkan industri.
Inspirasi gaya Chioma meliputi Adidas Samba, denim Junya Watanabe, dan koleksi desainer Inggris seperti Martine Rose, Wales Bonner, dan Simone Rocha. Ia mengaku, jika boleh “merampok” lemari seseorang, ia akan memilih gabungan isi lemari Fela Kuti dan Miuccia Prada.
Penny Martin Memperkuat Representasi Perempuan di The Gentlewoman

Penny Martin memimpin The Gentlewoman, majalah yang menampilkan perempuan sebagai figur utama dalam cerita mereka. Sejak 2009, Penny menjaga konsistensi majalah ini menampilkan perempuan yang tampak nyata dan berdaya. Ia menekankan pentingnya menampilkan figur perempuan berusia lima puluhan ke atas, termasuk Chaka Khan, Vivienne Westwood, dan Agnès Varda.
Lahir di Glasgow, Skotlandia, Penny tumbuh di lingkungan seni dan musik. Ia berkarir sebagai kurator di Women’s Library, kemudian menjadi editor di SHOWstudio sebelum memimpin The Gentlewoman. Penny menekankan gaya personal yang intelek dan santun, seperti kemeja, kaus putih atau leher kura-kura, serta celana hitam atau navy blue. Kolaborasinya dengan Arket menegaskan bahwa gaya pribadi muncul ketika seseorang memiliki “seragam” yang melampaui kode gaya umum. Sampul perdananya adalah Phoebe Philo pada musim semi panas 2010, yang menjadi simbol estetika majalah.
Setelah 16 tahun memimpin The Gentlewoman, Penny menegaskan bahwa industri mode harus tetap relevan, inklusif, dan menyoroti perempuan dari berbagai usia serta latar belakang.