
Sutasit Srivisarvacha memutuskan meninggalkan karier teknologi di Los Angeles untuk mengejar kehidupan yang lebih nyata dan kreatif di Bangkok. Dalam percakapan dengan indonesiafashion.com, pria berusia 30 tahun ini berbagi perjalanan hidupnya, mulai dari masa sekolah di luar negeri hingga membuka toko multi-brand untuk pria di kota kelahirannya.
“Saya selalu membayangkan suatu hari akan kembali ke Bangkok untuk memulai bisnis sendiri. Ketika menyadari saya tidak menikmati pekerjaan saya di LA dan tidak memiliki keterikatan pribadi seperti hubungan atau hewan peliharaan, saya tahu saatnya tiba,” ujarnya.
Masa Kecil dan Pendidikan di Luar Negeri

Sutasit lahir dan besar di Bangkok. Sejak kecil, orang tuanya menekankan pentingnya pengalaman internasional. Pada usia 13 tahun, ia dikirim ke sekolah asrama di Pulau Vancouver, Kanada. Awalnya, Sutasit merasa sangat kesepian dan sering menangis saat menelpon rumah. Ia juga terganggu dengan perbedaan budaya, termasuk kebiasaan makan nasi dengan pisau dan garpu.
Dua tahun terakhirnya di sekolah asrama menjadi titik balik. Ia mulai menemukan teman sebidang, bergabung dengan tim basket, dan perlahan menerima kenyataan bahwa ia berada jauh dari rumah untuk jangka panjang. “Saya menemukan komunitas sendiri dan mulai merasa nyaman. Kehidupan menjadi lebih mudah dan menyenangkan,” katanya.
Saat melanjutkan pendidikan tinggi, Sutasit hanya melamar ke universitas di California, Florida, dan Texas, karena ia muak dengan cuaca dingin. Ia diterima di UC San Diego, jurusan psikologi sosial, dan merasa pengalaman ini memberi pondasi penting sebelum membangun karier profesional.
Karier di Desain Pengalaman Pengguna di LA

Setelah lulus, Sutasit memulai karier sebagai analis SEO di agensi pemasaran digital di San Diego. Pekerjaan ini membosankan, tetapi membukakan jalannya ke bidang desain pengalaman pengguna (UX). Ia kemudian mengikuti pelatihan intensif online untuk menjadi desainer UX dan mendapatkan posisi di Goji Labs, agensi produk digital kecil di Los Angeles.
Di Goji Labs, Sutasit menjadi satu-satunya desainer dan bertanggung jawab menghasilkan desain untuk berbagai proyek. Secara bertahap, perannya berkembang menjadi manajer proyek, dan ia membantu membangun organisasi desain dari awal. Meskipun pekerjaan ini menantang dan kreatif, setelah tiga tahun, Sutasit merasa lelah dan kehilangan kecintaan pada teknologi.
“Saya mulai meragukan kepercayaan bahwa teknologi bisa menyelesaikan segalanya, bahkan masalah besar seperti kemiskinan. Saya tidak ingin lagi menjadi bagian dari budaya itu,” ujarnya.
Memulai Bisnis Kreatif di Bangkok

Sutasit akhirnya memutuskan kembali ke Bangkok untuk mengejar kehidupan yang lebih nyata. Ia mengambil enam bulan cuti untuk menentukan arah langkah selanjutnya. Awalnya, ia mempertimbangkan meluncurkan merek pakaian olahraga fesyen, tetapi akhirnya membuka Fewer Better Things, toko multi-brand untuk pria.
Toko ini mengisi celah pasar di Bangkok, yang biasanya menawarkan barang desainer kelas atas atau produk massal murah, dengan sedikit opsi di antaranya. Fewer Better Things fokus pada pakaian pria kontemporer, dekorasi rumah, perabot, aksesori, tas, perawatan diri, dan seni. Sutasit mengimpor produk dari India, Inggris, Jerman, Jepang, Korea, dan Thailand, dan sengaja tidak membuat katalog online. Ia ingin pelanggan datang ke toko dan mengalami karya tersebut secara langsung.
Ia menyisihkan 4,5 juta baht (sekitar 140.000 dolar) dari tabungan pribadi untuk memulai bisnis ini. Hingga saat ini, ia menghabiskan 3 juta baht untuk renovasi, biaya operasional, gaji staf, dan persediaan untuk 12 bulan.
“Bagian favorit saya adalah berada di toko dan berbicara dengan pelanggan tentang desain, gaya, dan kehidupan mereka. Bangkok dipenuhi energi kreatif; orang-orang mengejar passion mereka, bukan hanya uang,” kata Sutasit.
Filosofi dan Masa Depan Kreatif
Sutasit menegaskan bahwa tujuan utamanya bukan mengumpulkan kekayaan, tetapi menciptakan sesuatu yang nyata dan membantu orang lain. Jika suatu hari ia meluncurkan merek sendiri, semua produknya akan dibuat di Thailand oleh kreator lokal, memberikan pendapatan bagi masyarakat setempat.
“Sekarang yang menggerakkan saya adalah hal-hal yang ingin saya ciptakan dan orang-orang yang bisa saya bantu. Kreativitas dan dampak nyata jauh lebih penting daripada sekadar mengejar uang,” jelasnya.
Keputusan Sutasit meninggalkan teknologi dan kembali ke Bangkok menegaskan bahwa kehidupan yang berarti tidak selalu terkait dengan kesuksesan finansial semata. Baginya, kebahagiaan berasal dari pekerjaan yang nyata, pengalaman manusiawi, dan kontribusi bagi komunitas lokal.