Selendang Tenun Dayak Iban “Diolah” Wilsen Willim Jadi Karya Fashion Bermakna

indonesiafashion.com – Wilsen Willim bukan desainer baru dalam ranah wastra nusantara. Namun proyek terbarunya bersama Cita Tenun Indonesia (CTI) dan Kawan Lama Group membawa tantangan khusus — mengubah selendang tenun Dayak Iban menjadi elemen fashion menjadi sorotan utama. Desainer menyebutnya sebagai proyek “ribuan jarum” karena setiap bagian perlu dirakit dengan sangat hati-hati.
Proses kolaborasi ini berakar dari pengalaman Wilsen di Putussibau, Kalimantan Barat, ketika melakukan pembinaan penenun Dayak Iban. Dia menyaksikan langsung proses pewarnaan alami, teknik menenun dengan alat tradisional, serta semangat lintas generasi masyarakat lokal. Kedekatan itu membuatnya paham bahwa tenun Iban bukan sekadar kain, melainkan warisan budaya yang kaya makna.

Tantangan Teknis Pengolahan Selendang

Selendang tenun Iban memiliki beberapa karakteristik yang menuntut ketelitian tinggi saat diolah. Lebar kain hanya berkisar 15–18 cm, dengan ujung kain yang sering tidak simetris. Agar selendang tidak sekadar jadi aksesori, desainer harus memutar otak agar ia tetap tampil sebagai focal point.
Teknik pengerjaan melibatkan penggunaan banyak jarum pentul dan bahan pengeras agar struktur kain tidak rusak. Proses ini disebut Wilsen bertujuan menjaga jalinan uraian serat tetap rapi tanpa merusak keaslian tenun. Baginya, bagian ujung kain—termasuk dekorasi fringe—merupakan detail estetis yang krusial.

Tampilan Koleksi dan Paduannya

Saat dipamerkan dalam Fashion Nation XIX di Senayan City, selendang tak hanya dipakai sebagai sash atau aksen. Wilsen menggabungkannya ke dalam jaket dengan cutting khas, rok lipit overlay celana hitam, hingga hiasan pada kerah bersama embellishment mutiara dan batu alam. Dia memilih palet warna netral seperti hitam, beige, dan blush agar motif tenun semakin menonjol sebagai pusat perhatian.
Setiap karya dianggap sebagai statement piece, bukan elemen tambahan. Dengan memadukan tenun Iban bersama bahan modern, Wilsen berhasil menyuntikkan estetika kontemporer tanpa meniadakan warisan budaya. Ia bahkan menyebutkan bahwa proyek ini bukan yang terakhir—ia tengah merancang koleksi tenun berbahan daur ulang.

Makna Sosial dan Peluang Budaya

Kolaborasi ini memperlihatkan bagaimana fashion bisa menjadi medium untuk mengangkat budaya lokal ke panggung nasional. Lewat pengolahan yang penuh hati, selendang Dayak Iban tampil bukan sekadar motif, tetapi cerminan identitas dan kreativitas.
Lebih jauh, proyek ini memberi manfaat ekonomi pada komunitas penenun. Keterlibatan penenun lokal dalam proses produksi memastikan nilai produksi tetap mengalir ke akar budaya. Selain itu, publik melihat bahwa warisan tenun tidak hanya bisa dikenal sebagai objek museum, tetapi bisa hidup dalam wujud fungsional dan bergaya.
Jika dijalankan secara konsisten—kualitas tinggi, cerita kuat, dan pemasaran tepat—koleksi yang menggunakan tenun budaya seperti ini punya potensi menjadi ikon fashion nasional. Tak sekadar produk, melainkan karya yang menyatukan seni, budaya, dan fungsi.

nita mantan steamer