indonesiafashion.com – Selama tahun 1980-an dan 1990-an, berbelanja di Gap menjadi tradisi ikonik bagi generasi muda. Toko ini dikenal sebagai tujuan utama untuk mendapatkan gaya kasual khas Amerika dengan celana kain, kaus simpel, serta kemeja putih bersih. Popularitasnya menjadikan Gap bagian penting dari hampir setiap mal di Amerika dan bahkan berkembang hingga ke luar negeri. Pada tahun 2000, jumlah tokonya mencapai 2.548 lokasi, termasuk 529 cabang internasional.
Namun, perjalanan panjang itu kini berubah drastis. Setelah menghadapi berbagai tantangan, Gap telah menutup lebih dari 2.000 toko. Perusahaan mengalihkan fokusnya pada merek lain seperti Old Navy dan Athleta. Kondisi tersebut mencerminkan bagaimana perubahan perilaku konsumen, persaingan dari H&M maupun Walmart, serta kegagalan strategi branding berkontribusi besar terhadap penurunan dominasi Gap.
Perubahan Tren dan Kesalahan Strategis Menekan Gap
Sejak membuka toko pertama di San Francisco pada 1969, Gap telah menyaksikan tren fashion datang dan pergi. Awalnya, retailer ini menjual jeans Levi’s kepada kalangan remaja dan dewasa muda. Namun, arah bisnis berubah total di bawah kepemimpinan CEO Millard “Mickey” Drexler pada 1980-an. Drexler membawa pendekatan baru dengan menghadirkan celana kain dan kemeja yang kemudian mendefinisikan gaya kasual 1990-an.
Di bawah Drexler, Gap mengalami masa keemasan. Jumlah toko meningkat dari 1.100 pada 1990 menjadi 2.548 pada 2000. Ia juga meluncurkan Old Navy dan Banana Republic untuk menjangkau segmen pembeli berbeda. Meski begitu, sejak ia meninggalkan perusahaan pada 2002, Gap kesulitan menjaga momentum. Para pemimpin baru gagal mengikuti perubahan tren fashion. Saat pesaing menawarkan produk serupa dengan harga lebih rendah, Gap kehilangan daya tarik.
Titik balik negatif terjadi pada 2010 ketika Gap mencoba rebranding dengan menghapus logo kotak biru ikoniknya. Keputusan ini, yang kemudian dikenal sebagai “Gapgate,” mendapat kritik luas. Publik menolak, dan perusahaan pun terpaksa kembali menggunakan logo lama. Peristiwa tersebut menunjukkan betapa sulitnya Gap mereformulasi identitas mereknya.
Lebih jauh, pergeseran konsumen ke belanja online juga memperburuk situasi. Karena sebagian besar tokonya berada di mal indoor, Gap terpukul keras ketika lalu lintas mal menurun. Pandemi Covid-19 tahun 2020 mempercepat kehancuran tersebut. CEO saat itu, Sonia Syngal, mengumumkan penutupan ratusan toko untuk menyesuaikan bisnis dengan tren “hyper casualization” yang digerakkan oleh merek seperti Lululemon.
Gap Menyusun Ulang Bisnis untuk Bertahan
Saat ini, Gap hanya mengoperasikan sekitar 472 toko dari lebih dari 2.500 pada masa jayanya. Strategi “Power Plan 2023” memindahkan fokus ke Old Navy dan Athleta. CEO Richard Dickson menegaskan bahwa meski sulit, langkah itu bertujuan merampingkan biaya, meningkatkan margin, dan memperkuat merek yang lebih kompetitif.
Dickson mengakui bahwa perusahaan menghadapi masalah serius: pendapatan menurun, merek kehilangan pangsa pasar, armada toko sudah tua, dan persediaan berlebihan. Namun, penutupan besar-besaran justru membuat kinerja toko yang tersisa lebih baik. Data Placer.ai mencatat kunjungan ke toko Gap sempat naik 5,3% pada April 2025, meski kemudian menurun di bulan Juni dan Juli.
Secara keseluruhan, penjualan Gap pada kuartal kedua 2025 stabil di angka 3,7 miliar dolar, sementara laba per saham naik 6% menjadi 57 sen. Old Navy dan Athleta berperan penting menjaga performa perusahaan tetap positif.
Untuk memperkuat merek inti, Gap meluncurkan kampanye kreatif dengan kolaborasi bersama artis seperti Tyla, Jungle, Troye Sivan, dan Parker Posey. Perusahaan juga memperluas lini denim rendah dan parfum untuk menarik generasi baru konsumen. Meskipun hasil akhirnya belum pasti, langkah tersebut menunjukkan komitmen manajemen mempertahankan relevansi Gap di industri retail.
Gap Masih Punya Peluang Bangkit
Penutupan 80% toko memang terasa drastis, tetapi strategi tersebut membuka jalan baru bagi Gap. Dengan mengandalkan Old Navy dan Athleta yang terus tumbuh, serta kampanye kreatif untuk membangkitkan kembali nama Gap, perusahaan berusaha menyeimbangkan warisan ikonik dengan tuntutan konsumen modern.
Tantangan tetap besar, terutama dengan persaingan ketat dari retailer cepat dan dominasi belanja online. Namun, fokus baru ini memberi kesempatan bagi Gap untuk menemukan kembali posisinya di pasar global. Walaupun jumlah tokonya berkurang jauh, Gap menunjukkan bahwa adaptasi, meski menyakitkan, tetap menjadi kunci bertahan dalam industri fashion yang terus berubah.
